Beranda > DPRD, Kelembagaan > Akuntabilitas Wakil Rakyat Masih Rendah

Akuntabilitas Wakil Rakyat Masih Rendah

Sudah semakin baikkah akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituennya? Rekomendasi apa yang perlu diterapkan hingga akuntabilitas DPRD dapat ditingkatkan?

Oleh: Direktorat Politik, Komunikasi dan Informasi, Deputi Bidang Polhankamnas, Bappenas

Kajian ini bertujuan menyusun indikator demokrasi, terutama akuntabilitas wakil rakyat/anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap para pemilih (konstituen) mereka. Kemudian menganalisis faktor-faktor penyebab akuntabilitas anggota DPR; serta mengajukan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan akuntabilitas tersebut.

Metodologi yang digunakan adalah studi pustaka terhadap berbagai analisis, indikator, dan dinamika demokrasi di Indonesia; studi pustaka tentang kebijakan pengembangan demokrasi di Indonesia, seperti Undang-undang Dasar (UUD) dan Undang-undang yang di bidang politik; studi pustaka terhadap anggaran pemerintah maupun DPR; dan wawancara mendalam dengan berbagai nara sumber/pakar dan survai sederhana kepada mahasiswa.

Kesimpulan kajian ini adalah tingkat akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituennya “rendah” dilihat dari kinerja mereka, seperti kunjungan maupun pelaporan. Rendahnya akuntabilitas tersebut, antara lain disebabkan:

  1. perundang-undangan tidak secara tegas dan jelas menugaskan anggota DPR melakukan kontak dan komunikasi serta melaksanakan fungsi perwakilan dengan baik;
  2. dukungan anggaran yang rendah;
  3. kurangnya tekanan publik (pers, universitas, dan ormas) kepada anggota DPR serta Partai Politik (Parpol) agar mereka lebih aspiratif dan responsif kepada konstituennya;
  4. kontak dan komunikasi antara wakil rakyat dan pemilih/konstituen tidak merupakan bagian menonjol dalam sejarah politik Indonesia; serta
  5. sistem Pemilu yang memilih tanda gambar sehingga menghasilkan gambaran yang abstrak atau DPP, sehingga figur wakil tidak mengakar.

Rekomendasi yang dapat disampaikan antara lain:

  1. dalam peraturan perundang-undangan perlu dicantumkan kewajiban wakil rakyat untuk melakukan kontak dan melaporkan kegiatan mereka kepada pemilihnya;
  2. perlu disusun peraturan yang menjamin hak warga/konstituen untuk memecat wakil rakyat yang melakukan kesalahan;
  3. perlu ruang publik yang memadai dan optimalisasi lembaga masyarakat yang independen termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengontrol wakil rakyat, sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan intelektual mereka;
  4. perubahan sistem Pemilu sangat penting dilakukan, sehingga rakyat lebih realistis dalam memilih wakilnya dengan menekankan pada figur/person, bukan gambar;
  5. perlu diperhatikan penyesuaian kebutuhan anggaran untuk mendukung kegiatan komunikasi dengan konstituen, namun harus dengan rencana dan pertanggungjawaban yang jelas.

Download dan baca selengkapnya dalam hasil penelitian ini

  1. 21 Juni 2008 pukul 11:27 am

    ESENSI PENINGKATAN KINERJA DPR, ASPIRASI MASYARAKAT TERPENUHI
    Tanggal: 21 Sep 2006
    Sumber: dpr.go.id

    Gubernur Lemhanas Prof. Muladi menegaskan, esensi yang paling mendasar dalam meningkatan kinerja DPR adalah political representation, bagaimana terpenuhinya tuntutan aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Konfigurasi dari perwujudan aspirasi rakyat dapat dilihat dari pelaksanaan fungsi-fungsinya baik di bidang legislasi, anggaran dan pengawasan.

    Hal itu ditegaskan Muladi dalam rapat dengan Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR dipimpin Wakil Ketua DPR Zaenal M’arif Kamis (21/9) di Gedung DPR Senayan Jakarta.

    Selain itu, tambah mantan Mensesneg dan Menteri Kehakiman ini, dalam penggunaan hak yang melekat pada DPR seperti hak angket, interpelasi, penyataan pendapat yang selalu mendapatkan perhatian masyarakat. Untuk itu konsekuensi dan konsistensi terhadap tata tertib serta kepatuhan kepada kode etik, juga sangat menarik untuk diperhatikan.

    “Karakter dari profesionalisme adalah bukan hanya ilmu dan ketrampilan tetapi adalah rasa tanggungjawab yang tinggi nampak dari semua aktivitas DPR,” kata Muladi dengan menambahkan, peningkatan kinerja juga diukur dari kesejawatan yang tinggi serta didukung oleh kode etik yang kuat.

    Dengan penegakan beberapa hal itu maka akan mencerminkan profesiolisme dari siapa saja termasuk anggota DPR dan akan mewarnai berfungsinya alat-alat kelengkapan DPR. “Saya lihat banyak sekali kemajuannya, apalagi aktivitas Badan Kehormatan yang kami harapkan lebih banyak berbuat, jangan ada kesan tebang pilih. Ketaatan pada kode etik, lebih hebat dari ketaatan pada hukum,” ia menjelaskan.

    Ditambahkan, kode etik wajib dipahami sungguh-sungguh dan menjadi norma-norma yang benar-benar dipatuhi oleh anggota DPR. Terindikasi bahwa berbagai kelemahan, kekurangan dan hambatan mekanisme kerja dan kinerja DPR dalam melaksanakan fungsinya karena kurangnya kepatuhan dan kepahaman terhadap kode etik DPR.

    Kurang Berpihak

    Di bagian lain, Muladi menyoroti hubungan DPR dengan masyarakat yang terindikasi kurang pemihakannya kepada rakyat tetapi lebih mengutamakan kepentingan partai. Dengan demikian, banyak aspirasi rakyat yang seharusnya diartikulasikan, diagregasi dan dikompersikan sesuai dengan peran dan fungsi DPR, kenyataannya cenderung terabaikan.

    Di sisi lain, rakyat merasa tidak terwakili oleh anggota DPR sehingga terbentuk opini bahwa DPR bukan wakil rakyat akan tetapi wakil partai. “Pada umumnya anggota DPR melalui partai politiknya tidak mengembangkan pendekatan partisipasi politik akan tetapi cenderung mengembangkan pendekatan mobilisasi politik,” katanya.

    Untuk itu, Muladi berharap dalam menjalin hubungan dengan masyarakat dan pemerintah, DPR perlu mengembangkan pendekatan kemitraan yang sejajar, artinya tidak memposisikan hubungan vertikal. Selain itu perlu mengubah pola pendekatan dari pola mobilisasi politik kepada pola pendekatan partisipatif.

    Gubernur Lemhanas mengatakan, adanya kesan kuat dan nyata bahwa kualitas anggota DPR yang tidak homogen sehingga kinerjanya tidak merata dan secara keseluruhan mengurangi kualitas kerja sebagai lembaga. Karenanya perlu mekanisme pendidikan dan pelatihan yang bersifat reguler bagi anggota-anggota DPR. “Dalam hal ini Lemhanas siap membantu,” tutur Muladi.

    Sedangkan mengenai dukungan sekretariat jenderal, perlu dipertimbangkan kemungkinan diadakannya revitalisasi dan restrukturisasi organisasi sekretariat jenderal yang berbasis kinerja. Organisasi nanti berorientasi pada visi dan misi yang dicerminkan dalam struktur organisasi, prosedur dan tata kerja, aparatur yang kompeten dan kultur yang kondusif.

    Hal senada dikemukakan Deputi Meneg, PPN/Ketua Bappenas Max Pohan, kinerja DPR rendah karena struktur organisasi DPR menganut institusi yang lama padahal perannya baru dan sangat substansif saat ini. Dipertanyakan apakah struktur seperti itu masih tepat.

    Kelemahan lain adalah koordinasi antara badan DPR masih belum optimal dan koordinasi antara DPR dengan konstituennya masih belum optimal. Di sisi lain akuntabilitas terhadap konstituennya juga belum optimal serta akuntabilitas wakil rakyat pasca pemilu tidak dibahas secara komprehensif di dalam UU Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD.

    Untuk itu Bappenas merekomendasikan, perlunya pencantuman secara eksplisit dalam suatu UU bahwa wakil rakyat memiliki kewajiban melakukan kontak dan melaporkan kegiatan pada pemilihnya. Perlu ada aturan yang menjamin hak dari warga dalam konstitusi untuk memecat wakil rakyat pada tingkat lokal yang melakukan kesalahan.

    Dalam hal program pemeliharaan demokrasi, perlu dianggarkan secara rutin untuk kunjungan ke konstituen, penyusunan laporan tahunan, dukungan staf personal dan administratif serta ketersediaan dana melakukan pertemuan rutin antara konstituen dengan wakil rakyatnya. (mp)

    Sumber: dpr.go.id

  2. 28 Juni 2008 pukul 9:25 am

    Kasus DPRD: Pemerintah Berperan Besar

    Untuk DPRD di provinsi, kabupaten, dan kota, rendahnya akuntabilitas mereka sangat dipengaruhi oleh regulasi yang dibuat oleh Pemerintah. Pengalaman di awal otonomi daerah menunjukkan bahwa yang menjadi penyebab mengapa banyak anggota DPRD yang tersangkut kasus korupsi adalah karena ketidaktegasan dan ketidakjelasan peraturan perundang-undangan yang di kuluarkan Pemerintah.

    UU No.22/1999 menempatkan DPRD pada posisi yang sangat kuat, superpower! Kewenangan DPRD memilih dan memberhentikan kepala daerah menyebabkan DPRD kebablasan sehingga memanfaatkan kekuasaan yang mereka miliki untuk menekan pemerintah daerah dalam pengalokasian sumberdaya di APBD. Akibatnya, alokasi di APBD banyak yang menyimpang dari yang seharusnya. Ini korupsi politik. Tetapi, begitu dana APBD dicairkan, maka terjadi korupsi administratif. Karena korupsi ini, para anggota DPRD ramai-ramai masuk bui.

  3. 8 Juli 2008 pukul 1:51 pm

    Pertanggungjawaban Reses DPR
    Sumber: antikorupsi.org


    Dimulainya masa persidangan kali ini merupakan momentum yang baik bagi anggota DPR untuk memberikan pertanggungjawaban terhadap kegiatan reses, yang dilakukannya selama kurang-lebih tiga minggu di daerah pemilihan masing-masing.

    Pentingnya pertanggungjawaban hasil reses, pertama, untuk menjawab gencarnya sorotan publik yang memasalahkan naiknya alokasi dana reses bagi setiap anggota DPR. Kedua, untuk mengukur penyerapan aspirasi yang dilakukan dan kaitannya dengan pelaksanaan fungsi DPR ke depan.

    Kedua hal di atas sangat penting diketahui melihat posisi reses sebagai mekanisme penting di DPR ketika anggota dapat bertemu langsung dengan konstituen dan melakukan dua hal sekaligus: mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya atas mandat dari rakyat pemilih dan menyerap hal-hal yang harus diperjuangkan di masa persidangan mendatang. Naiknya anggaran reses, menurut penulis, merupakan kabar baik karena diharapkan reses dapat lebih menjangkau basis-basis konstituen yang selama ini tidak tersentuh. Yang terjadi selama ini, reses umumnya hanya digunakan untuk kunjungan basis yang tidak lain kantor sekretariat partai masing-masing. Naiknya anggaran juga dapat mengurangi kecenderungan anggota DPR sebagai pejabat pusat yang kerap kali difasilitasi oleh pemerintah daerah dari dana anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk keperluan penginapan, transportasi, dan lainnya.

    Jika ketergantungan pada daerah terus berlangsung, daya kritis anggota DPR terhadap proyek-proyek daerah, terutama yang dibiayai APBN, akan semakin tergerus. Adanya alokasi yang sering disebut sebagai pos koordinasi instansi vertikal di beberapa dokumen anggaran daerah juga menyulitkan pertanggungjawaban anggaran di daerah dan sering menjadi faktor pendorong terjadinya korupsi, terutama berkaitan dengan pengurusan dana alokasi umum (DAU) untuk daerah. Di beberapa daerah yang berencana dimekarkan, alokasi ini juga kerap menjadi pos untuk mempengaruhi anggota DPR dan pejabat pusat untuk memuluskan pembahasan rancangan undang-undang daerah yang dimekarkan.

    Kinerja anggaran
    Untuk menghindari jebakan-jebakan korupsi seperti di atas, peningkatan alokasi reses DPR menjadi beralasan. Tapi pengelolaan anggaran ini di tingkat DPR masih bermasalah. Alokasi yang cukup besar untuk setiap anggota Dewan (masing-masing mendapatkan Rp 31,5 juta ditambah ongkos transportasi), seharusnya tidak hanya dipertanggungjawabkan setara dengan kas atau sekadar bukti pengeluaran kas yang ditandatangani anggota DPR yang menerima. Bukti pertanggungjawaban keuangan seharusnya menjangkau kenyataan ekonomis, yaitu transaksi aktual yang terjadi ketika pelaksanaan penyerapan aspirasi.

    Jika anggota DPR melaksanakan forum-forum yang memobilisasi konstituen di suatu tempat, pengeluaran, seperti bukti katering untuk konsumsi, sewa sound system, panggung, dan ruangan, harus dapat dideskripsikan dengan jelas. Bukti-bukti kenyataan ekonomis ini penting untuk mengkonfirmasi tidak hanya apakah benar anggota DPR melakukan temu konstituen di masa reses, tapi juga untuk mengklarifikasi apakah pengeluaran untuk reses benar dilakukan dan dibayar sendiri oleh anggota DPR. Bukti-bukti lain yang menjelaskan pencapaian substansi dan keberhasilan pelaksanaan reses juga perlu disertakan, seperti daftar absen peserta yang datang, rekaman pembicaraan, bahkan jika perlu rekaman visual yang dapat membuktikan besarnya partisipasi masyarakat konstituen dan dinamika jalannya diskusi dalam temu konstituen.

    Penjelasan Sekretaris Jenderal DPR bahwa pertanggungjawaban proses reses hanya dilakukan kepada fraksi dan konstituen sangat tidak beralasan, karena reses adalah bentuk aktivitas anggota DPR yang memiliki konsekuensi anggaran dan pada masa reses kemarin dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara. Karena anggaran DPR dari APBN ini juga akan turut diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan, panduan aktivitas berikut model pertanggungjawaban keuangannya juga harus dibuat dan diputuskan di tingkat DPR. Bagaimana baiknya agar tidak terlalu mengekang, tapi juga tidak terlalu longgar sehingga menjadi mudah diselewengkan. Pemimpin ataupun fraksi di DPR juga harus kritis melihat hal ini, karena ketidakjelasan mekanisme pertanggungjawaban keuangan dapat menjebak dan menyeret anggota DPR melakukan penyimpangan kode etik dan korupsi, yang pada akhirnya merusak citra partai politik dan DPR pada umumnya.

    Representasi dan daya serap
    Dalam pelaksanaan reses, isu representasi menjadi signifikan dibicarakan. Dalam riset Indonesia Corruption Watch pada 2004 tentang representasi, ditemukan bahwa 65,4 persen anggota DPR RI sekarang, sebelum menjadi anggota tinggal di Jakarta. Sisanya tinggal di Bekasi (8 persen), Tangerang (5 persen), serta Bogor dan Depok masing-masing 3 persen. Dengan komposisi DPR yang 85 persen anggotanya sebenarnya berasal dari Jakarta dan sekitarnya, reses menjadi tantangan tersendiri. Apakah para anggota ini mampu melebur kembali dengan setiap daerah pemilihannya serta mencoba memahami persoalan yang ada dan menyerapnya untuk kemudian dibawa ke proses kebijakan yang ada di Jakarta. Tentu ini ujian bagi para anggota DPR RI untuk membuktikan bahwa janji-janji kampanye mereka pada saat pemilu, terutama mengenai isu-isu kedaerahan, dapat dijadikan dasar dalam melaksanakan fungsi sebagai anggota DPR, bukan sekadar untuk merebut simpati pemilih pada saat pemilu.

    Masa reses harus menjadi titik temu pemberi mandat dan penerima mandat. Meskipun beberapa survei menerangkan bahwa para kandidat banyak tertolong oleh popularitas partai saat pemilu, bukan berarti pertanggungjawaban kepada konstituen pemilih dinomorduakan. Reses harus menjadi sarana pertanggungjawaban mandat dan mekanisme untuk mendapatkan mandat baru. Balik dari daerah pemilihan masing-masing, setiap anggota DPR harus membawa pemetaan masalah dan prioritas dari daerah pemilihan untuk dipertanggungjawabkan di awal masa sidang. Fraksi di DPR juga seharusnya mengambil peran dalam mengumpulkan berbagai persoalan dari hasil reses anggotanya dan membuat semacam peta aspirasi. Peta inilah yang seharusnya dapat dijadikan dasar untuk mengarahkan proyek dari pusat ke daerah. Praktek percaloan baru-baru ini adalah contoh kekacauan yang bakal terjadi ketika mekanisme ini tidak ada.

    Ibrahim Fahmy Badoh, MANAJER DIVISI KORUPSI POLITIK INDONESIA CORRUPTION WATCH

    Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 26 Agustus 2006

  1. No trackbacks yet.

Pembaca pastilah punya pendapat keren. "Bagaimana menurut Anda"?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.