Beranda > Diskusi, Kemiskinan, Perencanaan Pembangunan > Kemiskinan dalam Statistik dan Realitas

Kemiskinan dalam Statistik dan Realitas

Sumber: beritaindonesia.co.id

Realitasnya ...

Beberapa pihak menyebut salah satu indikasi kekurangberhasilan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah: masih tetap tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Namun, Presiden SBY justru mengklaim bahwa pemerintahannya telah sukses menurunkan angka kemiskinan.

Presiden menyebut, penurunan angka kemiskinan selama enam tahun masa pemerintahannya sudah 3,6 persen. Disebut, angka kemiskinan pada 2004 adalah 16,9 persen. Lalu, selama enam tahun pemerintahannya, angka itu disebutnya turun menjadi 13,3 persen. Menurut Presiden, penurunan tersebut, sudah lebih baik daripada capaian negara-negara lain. Presiden menambahkan, sebuah studi mengatakan bahwa:  sebuah negara bisa dikatakan baik jika mampu mengurangi angka kemiskinan hingga 0,3 persen setiap tahun.

Dalam lampiran Pidato Kenegaraan (16/8/2010) dipaparkan pula bahwa tingkat kemiskinan pada tahun 2010 menurun dibanding tahun 2009. Pada bulan Maret 2010, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan nasional), baik secara absolut maupun persentase mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan pada bulan Maret tahun 2009. Jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2009 sebanyak 32,53 juta menurun menjadi 31,02 juta pada bulan Maret 2010.

Dengan demikian, jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2010 menurun sebesar 1,51 juta dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2009, atau setara dengan penurunan tingkat kemiskinan sebesar 0,82 persen.

Selama periode Maret 2009 hingga Maret 2010, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,81 juta, yaitu dari 11,91 juta pada bulan Maret 2009 menjadi 11,10 juta pada bulan Maret 2010. Sementara itu, di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta orang, yaitu dari 20,62 juta pada Maret 2009 menjadi 19,93 juta pada bulan Maret 2010. Meskipun demikian, proporsi jumlah penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah selama periode ini. Pada bulan Maret 2009, sebanyak 63,38 persen penduduk miskin berada di daerah perdesaan, sedangkan pada bulan Maret 2010 menjadi sebesar 64,23 persen.

Klaim pemerintah yang sedang berkuasa itu adalah wajar. Semua pemerintah Indonesia, dari sejak rezim Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati hingga SBY, selalu mengatakan telah berhasil menurunkan angka kemiskinan sebagai bukti tekad untuk mengakhiri kemiskinan yang membelenggu rakyat.

Tapi target mengakhiri (mengurangi) kemiskinan itu, selalu masih jauh dari harapan. Hingga hari ini, lebih 90 juta rakyat Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan, jika mengacu pada kriteria Bank Dunia, berpendapatan minimal USD 2 per kapita per hari.

Dan jika mengikuti standar yang digunakan pemerintah (BPS), jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan yakni Rp.211,726) di Indonesia pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta (13,33 persen). Turun 1,51 juta dibandingkan dengan Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15 persen).

Penurunan ini jauh lebih kecil daripada penurunan angka kemiskinan dari Maret 2008 ke Maret 2009. Sebagaimana dikemukakan Kepala BPS Rusman Herawa, pada Maret 2009 jumlah penduduk miskin mencapai 32,53 juta jiwa, sementara pada Maret 2008 mencapai 34,96 juta jiwa, turun 2,43 persen. Sedangkan penurunan angka kemiskinan dari Maret 2009 ke Maret 2010 hanya sebesar 0,82 persen.

Jika dilihat dalam realita, jumlah penduduk miskin Indonesia jauh dari angka yang dipublikasikan pemerintah (BPS) tersebut. Pertanyaannya, apakah realistis orang yang berpengeluaran Rp.7000 per hari untuk semua kebutuhannya, mulai dari makan dan segala kebutuhan lainnya, tidak lagi tergolong miskin?

Barangkali akan lebih realistis bila penentuan garis kemiskinan mengacu pada Bank Dunia yakni berpendapatan sebesar USD 2 per kapita per hari, ekivalen Rp. 552.000 per bulan (kurs Rp.9.200/USD 1). Jika mengacu pada Bank Dunia, maka jumlah orang miskin di Indonesia lebih 90 juta orang.

Maka, kini saatnya para elit (penguasa) pengambil kebijakan politik ekonomi Indonesia segera bertobat, supaya rakyat tidak makin miskin. Guru Besar IPB Prof Ali Khomsan dengan nada tanya mengatakan: apakah pemerintah telah gagal dalam program penanggulangan kemiskinan? Bagaimana dampak program beras untuk rakyat miskin (raskin), Asuransi Kesehatan untuk Rakyat Miskin (Askeskin), sekolah gratis, kompor gas gratis yang selama ini dimaksudkan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat miskin?

Menurut Prof Ali Khomsan, kehidupan yang kini dirasakan semakin sulit membuat rakyat miskin memimpikan kembali zaman normal ataupun zaman Orde Baru yang meski sama-sama sulit, saat itu harga pangan relatif terjangkau oleh daya beli mereka.

Semua rakyat kecil merasakan betapa harga berbagai barang, termasuk kebutuhan bahan pokok semakin membubung, terlebih setelah pemerintah menaikkan tarif dasar listrik, mulai 1 Juli 2010. Tentu saja, kondisi ini membuat beban rakyat yang sudah berat semakin berat.

Dengan tidak menafikan perlunya statistik naik turunnya angka kemiskinan, tetapi yang lebih merasakan apakah akibat dari kenaikan harga ini sangat luar biasa adalah rakyat miskin itu sendiri. Bagi mereka, logika dan realitasnya adalah jumlah warga miskin akan bertambah banyak karena harga-harga semakin tinggi dan tidak diimbangi kenaikan pendapatan. Akibatnya, semakin banyak warga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan.

Mungkinkah orang mampu memenuhi gizi jika hanya mampu makan sekali sehari tanpa lauk yang memadai? Mungkinkah seseorang memenuhi kebutuhan kesehatan hidup dan pendidikan anak-anaknya jika untuk membeli beras saja dia tidak mampu?

Hal ini pulalah menjadi lingkaran setan kemiskinan yang Indonesia tidak pernah keluar dari belenggunya. Semua orang tahu bahwa jalan yang bisa digunakan untuk memutus mata rantai lingkaran setan kemiskinan adalah kesempatan memperoleh pendidikan. Namun kemiskinan, telah membuat si miskin sulit untuk memperoleh pendidikan. Karena kebijakan pendidikan tidak memberi kesempatan luas kepada orang miskin.

Pelita Online, sebuah media penguatan masyarakat sipil menulis, beberapa program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan cenderung mengalami kegagalan karena pendekatan yang digunakan juga salah dan tidak menyentuh akar persoalan kemiskinan yang banyak dialami masyarakat (www.lkts.org/pelita-online/index.php).

Pertama, kebijakan yang tidak menyentuh pada akar persoalan kemiskinan masyarakat. Kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok yang membuat masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhanya dan semakin terpuruk pada kemiskinan disikapi dengan memberikan konversi dan pembagian beras dan lain sebagainya.

Kedua, sebagai persoalan multikompleks, seharusnya pendekatan yang digunakan juga tidak melulu pada satu aspek akan tetapi banyak aspek secara terpadu, konsisten, dan berkesinambungan harus dilakukan. Termasuk pelibatan warga miskin untuk mampu menemukan akar persoalan kemiskinan yang dihadapi, juga harus dilakukan.

Ketiga, konsep pengentasan kemiskinan yang berbeda pada (pemerintah, LSM, perguruan tinggi) membuat konsep ini tidak membekas pada warga miskin.

Keempat, pengentasan warga miskin dijalankan sebagai proyek dengan target-target tertentu dan waktu yang tersedia terbatas. Pemikiran mengenai proyek membuat orang mudah terjebak, bahkan menjadi kesempatan menjarah uang Negara (korupsi). Makanya, miskin masih menjadi salah satu tanda Indonesia hari ini.BI/CRS-MS

  1. 27 Februari 2011 pukul 12:06 pm

    ya…pada dasarnya manusia itu tukang klaim. dan pemerintah saat ini terlalu menuhankan statitik

  2. 28 Maret 2012 pukul 10:31 am

    Tambahan :

    Indikator Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi Indoensia

    Indikator Pertumbuhan / Growth dan Pembangunan / Development Ekonomi Indonesia

  1. No trackbacks yet.

Pembaca pastilah punya pendapat keren. "Bagaimana menurut Anda"?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.